Friday 14 December 2012

Pengantar Islamic Insurance

Para ahli fikih terkini, seperti Wahbah Az-Zuhaili, mendefinisikan asuransi syariah sebagai at-ta’min at-ta’awuni (asuransi yang bersifat tolong menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang dari mereka ditimpa musibah. Musibah itu dapat berupa kematian, kecelakaan, sakit, kecurian, kebakaran, dan bentuk-bentuk kerugian lain.[5]  Pengertian ini paling sesuai dengan firman Allah,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
….dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maidah : 2)
            Islam mengenal istilah at-takaful al-ijtimai’i, yaitu saling menanggung dan memikul kesulitan hidup bermasyarakat. Prinsip ini menjadi pilar terbentuknya masyarakat yang kuat dan kokoh karena setiap individu diberikan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab hukum untuk memberikan perlindungan dan jaminan teradap individu lain. Yang memiliki kekuasaan memberikan jaminan terhadap yang lemah, yang kaya memberikan jaminan terhadap yang miskin, sesuai sabda Rasul :
“sesungguhnya orang yang beriman adalah orang yang dapat memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap terhadap harta dan jiwa orang lain.” (HR Ibnu Majah).
At-takaful al-ijtima’i tidak saja diterapkan pada sesama umat Islam, tetapi juga kepada umat selain Islam. Praktik ini dicontohkan oleh Rasul SAW di kota Madinah, yang tetap memberikan perlindungan jiwa dan harta kepada penganut agama selain Islam, seperti Yahudi dan Nasrani. [6]
Embrio Asuransi      
            Bangunan yang membentuk adanya asuransi syariah didasarkan pada prisip dasar dari nilai yang berlaku pada diri manusia. Manusia terlahir dibekali dengan dua kekuatan, yaitu kekuatan pembentuk yang beral dari Tuhan (roh) yang cenderung berbuat baik dan kekuatan pembentuk yang berasal dari materi (unsur tanah). Nilai tersebut merupakan pembawaan manusia sejak lahir yag bersifat alami (nature) yang terikat oleh aturan aturan yang berasal dari Allah (sunnatullah). Dengan berbekal dua kekuatan tersebut, manusia dituntut untuk membaca segala norma Tuhan yang ada di alam semesta, sehingga segala gerak yang dilakukan manusia tertuju pada ketentuan yang digariskannya. [7]
            Pada hakikatnya, secara teoritis semangat yang terkandung dalam sebuah lembaga asuransi tidak bisa dilepaskan dari semangat sosial dan saling tolong menolong antar sesama manusia. Secara historis, fenomena di atas sudah ada bersama dengan adanya manusia. Hal ini menguatkan sebuah buku tentang status manusia yang satu sisi sebagai makhluk individu dan disisi lain dia juga merangkap sebagai  makhluk sosial yang tidak dapat melepaskan dirinya dari orang lain. Asuransi yang didalamnya melibatkan kelompok sosial telah memberikan gambaran adanya bentuk pertanggungan antara anggota kelompok.[8]
            Paling tidak dalam kajian sejarah banyak aktivitas manusia tempo dulu yang ‘mirip’ ataupun menmpunyai unsur-unsur yang dimiliki oleh sebuah lembaga asuransi. Pada masa kuno, Alexander Agung (Iskandar Zulkarnain) pernah menginstruksikan kepada kotapraja untuk meminjam uang pada konglomerat-konglomerat pada masa itu, dan timbal baliknya, kotapraja memberikan semacam pertanggungan kepada pihak konglomerat jika suatu ketika mendapat musibah atau kerugian. Begitupula dengan apa yang terjadi di masyarakat Arab pra-Islam.[9] Dalam tradisi masyarakat arab pra-Islam, dikenal sistim pertanggungan yang disebut dengan aqilah. Sistem aqilah adalah sistem menghimpun anggota untuk menyumbang dalam suatu tabungan bersama yang dikenal sebagai kunz. Tabungan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak sengaja dan utntuk membebaskan hamba sahaya.[10] Aqilah juga dapat dikatakan sebagai uang penebusan atau uang darah. Jika uang dara tidak dibayar, akan terjadi pertumpahan darah yang berkepanjangan. Tradisi jahiliyyah mengharuskan darah dibayar dengan darah. Cara ini digunakan untuk menegakkan harkat dan martabat kelompok. Kewibawaan kelompok diletakkan di atas segala-galanya. Kebiasaan membayar uang darah masyarakat jahiliyyah diadopsi dan dibenarkan oleh Isam. Hal itu dapat dilacak di dalam Piagam Madinah. Letak pentingnya Piagam Madinah dalam pembahasan masalah asuransi karena di dalamnya terdapat sutu sistem embrio asuransi, yaitu:
a.       Iuran setiap anggota untuk membantu anggota kelompok yang lain merupakan tangggung jawab kolektif (at-takaful al-ijtimaiyyah).
b.      Terikat dengan isi perjanjian.
            Pada bagian lain Rasulullah pernah menulis surat kepada Amr bin Hazm yang menetapkan bahwa untuk satu jiwa, ganti ruginya sebanyak 100 ekor unta betina, untuk kasus pemukulan yang merusak otak atau daerah perut, ganti ruginya sebanyak sepertiga jumlah itu, atas kerugian sebiji mata, tangan, atau kaki, ganti ruginya sebanyak separuhnya. Untuk sebuah gigi atau luka sampai kelihatan tulang, ganti ruginya sebanyak lima unta.[11]
            Sejak abad-2 hijriyah, para pelaku bisnis dari kalangan pedagang muslimin yang kebanyakan menggunakan kapal laut dalam pengangkutan barangnya, sudah menggunakan mekanisme pengelolaan dana dengan sistim iuran untuk menolong para anggota yang terkena musibah sehingga mengalami kerugian dalam berbisnis, seperti kapal bertabrakan, tenggelam, terbakar, atau kerugian karena dirampok bajak laut.[12]
            Sistim ini kemudian diadopsi oleh para pelaut Eropa, dengan cara melakukan iuran antar anggota, lalu uang yang terkumpul diputar dengan menggunakan bunga. Sistim membungakan uang ini meluas ke berbagai penjuru dunia setelah kaum Yahudi membentuk perkongsian perdagangan. Sistim bunga ini menjadi model dalam kegiatan perkonomian di negara-negara muslim setelah wilayah-wilayah yang dikuasai umat Islam jatuh ke tangan orang-orang Eropa sampai sekarang.
            Ulama yang pertama kali membicarakan masalah asuransi adalah Ibnu Abidin (1784-1836 M). beliau seorang ahli fikih dari mazhab Hanafi. Beliau membicarakan masalah asuransi keselamatan barang yang diangkut kapal laut. Pihak pedagang berkewajiban membayar sejumlah uang pada pihak perusahaan asuransi sebagai jaminan atas kemungkinan terjadinya kerusakan pada barang tersebut. Apabila hal tersebut terjadi, pihak perusahaan asuransi akan membayar kerugian yang diderita pedagang tersebut. Dalam hal ini, Ibnu Abidin berpendapat bahwa tidak halal bagi pedagang  mengambil uang ganti rugi atas barang-barangnya yang telah musnah karena akad seperti itu”mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan”. Menurut ketentuan dalam bermuamalah, apabila ada satu pihak yang menderita kerugian yang bukan disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian pihak lain yang berakad, pihak kedua tidak boleh dikenakan tanggung jawab, untuk mengganti kerugian sebab transaksi demikian mengandung penipuan (gharar) yang dilarang oleh hukum Islam.[13]
            Pendapat Ibnu Abidin di atas menekankan aspek legalitas pentingnnya asuransi untuk menjamin kemunginan munculnya kerugan karena jika muncul musibah yang tidak disengaja yang merugikan piak pedagang, pemilik kapal tidak mempunyai tanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut.  Ada pihak ketiga yang  bertanggung jawab, yaitu perusahaan asuransi.
            Seiring dengan perjalanan waktu, dan makin mendesaknya kebutuhan akan sebuah lembaga asuransi yang tidak melanggar syariat bagi umat Islam, maka asuransi yang berbasis prinsip ta’awuni direkomendasikan oleh peserta Muktamar Ekonomi Islam yang berlangsung di Mekkah tahun 1985.
Rekomendasi ini dikuatkan lagi oleh Majma Al-Fiqhu Al-Islami tanggal 28 desember 1985 di Jeddah. Dalam keputusannya, secara ijma mengharuskan asuransi ta’awuni sebagai alternatif asuransi Islam, menggantikan asuransi konvensional dan diserukan kapada seluruh umat Islam dunia untuk menggunakannya.
            Sebagai realisasi atas fatwa tersebut, tahun 1979 berdiri Islamic Arab Insurance Co Ltd di Sudan, Daar Al-Maal Al-Islami di Geneva (1983), Takaful Islam Lexemburg (1983), Takaful Islam Bahamas (1983), Syarikat Takaful Malaysia (1984).
Di Indonesia, asuransi syariah mulai berdiri tahun 1994 , tiga tahun setelah berdirinya perbankan Syariah (Bank Muamalat Indonesia), bernama PT Asuransi Takaful Keluarga sebagai asuransi jiwa (life insurance), sedangkan untuk asuransi kerugian (general insurance) berdiri tahun 1995, bernama PT Asuransi Takaful Umum. Kedua perusahaan ini bernaung dibawah holding company PT Syarikat Takaful Indonesia.
Berdirinya asuransi syariah di Indonesia sedikit terlambat jika dibandingkan dengan Malaysia. Hal ini disebabkan konsisi perpolitikan di Indonesia tidak mendukung untuk berdirinya lembaga keuangan syariah paa dekade 80-an. Sedangkan, perpolitikan Malaysia secara penuh mendukung muncul dan berkembangnya sistim ekonomi Islam.[14]

Dampak Psykologis bagi yang Berasuransi Maupun tidak


Ada 6 Perbedaan Bagi Orang Yang Punya Asuransi 
  
Bagi yang memiliki Asuransi:

1. Jika dokter menganjurkan perawatan, langsung pasien mau dirawat.
2. Tidak pernah memikirkan harga obat.
3. Tidak selalu cek biaya setiap hari. Pasien ini seperti Turis Asing yang jika naik taxi selalu melihat pemandangan menunggu kesembuhan
4. Penyakit tidak menjadi fatal karena dirawat sebelum parah, bahkan pulang ke rumah pun sesuai anjuran dokter.
5. RS lebih mengutamakan pasien yang punya asuransi karena point lebih dari angka 1 sampai 3.
6. Waktu pasien ini meninggal, lebih-lebih kalau dia sebagai Kepala Keluarga, mereka meninggal pun dengan tenang karena ada PIHAK ASURANSI YANG MENGCOVER DAN ADA SURAT CINTA DARI ASURANSI UNTUK KELUARGA YANG DITINGGALKAN.





 Bagi yang tidak memiliki Asuransi


1. Kalau dokter menganjurkan perawatan, dengan segala cara meminta dirawat di rumah karena faktor biaya walaupun pasien orang yang menengah
2. Pasien sering meminta pada dokter untuk membuka resep dengan GENERIK
3. Setiap hari melihat biaya RS, persis seperti turis Domestik naik taxi yang selalu melihat ARGOMETER
4. Sering jadi FATAL karena terlambat masuk RS atau kabur sebelum sembuh sesudah lihat biaya yang membengkak.
5. RS sering tidak mengutamakan pasien yang tidak punya Asuransi.
6. Sewaktu Pasien/Client meninggal 

dengan mata membelalak karena mengintip KWITANSI yang HARUS DIBAYAR KELUARGA & KELUARGA YANG DITINGGALKAN SANGAT MENYESAL KARENA BELUM ADA SURAT CINTA UNTUK KELUARGA DARI ASURANSI.

Perbedaan Asuransi Syariah dengan Konventional

Ada beberapa perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:
  1. Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
  2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
  3. Investasi dana pada asuransi syari’ah berdasarkan Wakallah bil Ujrah dan terbebas dari Riba. Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai bagian penempatan investasinya
  4. Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
  5. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
  6. Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

Asuransi Syariah Sebagai Dharurah Ijtima’iyah

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah, untuk menjalani kehidupannya di muka bumi. Namun dalam menjalankan kehidupannya tersebut manusia tidak mengetahui, sampai kapan ia akan terus hidup, kapan ia akan jatuh sakit, kapan tertimpa musibah, kecelakaan, kebakaran dsb. Karena hal tersebut semata-mata hanyalah merupakan rahasia Allah SWT.
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. Al-A’raf : 34)

Bersamaan dengan ketidaktahuan manusia mengenai perkara yang ghaib (yang akan terjadi), Allah juga memerintahkan agar manusia membuat perencanaan untuk hari depan. 
 
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. 
(QS. An-Nisa’ : 9)

Dalam kehidupannya manusia memiliki potensi mendapatkan musibah dan bencana yang mungkin tidak diduga sebelumnya, dan oleh karenanya manusia diminta untuk mempersiapkan diri, menghadapi berbagai kemungkinan musibah yang akan menimpanya, sehingga tidak menimbulkan kemadharatan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.
 
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
Dari Sa’d bin Abi Waqqash ra berkata, … bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan kaya (kecukupan) lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka miskin yang meminta-minta kepada manusia lainnya. (Muttafaqun Alaih).

Diantara sesama kaum muslimin, kita diperintahkan untuk saling tolong menolong dan saling bantu membantu, khususnya terhadap yang mendapatkan kesulitan. 
 
Dari Nu’man bin Basyir ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang dan kelemah lembutan diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila terdapat satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasalakannya (seperti) tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim)

Wednesday 12 December 2012

Apakah semua orang BUTUH ASURANSI ?


1 Sudah mempunyai dana yang cukup kalau sampai  Anda, Istri dan buah hati Anda Jatuh sakit.
Kalau Anda termasuk orang yang berdisiplin menyisihkan  dana untuk keadaan tidak terduga, seperti sakit dan membutuhkan biaya yang cukup banyak, maka anda tidak perlu punya asuransi lagi. Karena Anda sudah mempersiapkan sejak awal.

Jika Anda dalam kondisi seperti ini, maka tidak perlu punya asuransi, kalau sakit tinggal habisin aja uang yang sudah dikumpul. Paling yang disesalin nantinya adalah coba punya asuransi, kan gak usah bayar sendiri, udah dibayari ama perusahaan asuransi.

2. Sudah mempunyai Dana yang cukup untuk Istri dan Anak  kalau sampai Meninggal terlalu cepat.

Nah, kalau Anda sudah memiliki uang yang cukup untuk membiayai keperluan biaya rutin rumah tangga ( biaya kebutuhan sehari hari,Liburan, listrik, PAM, dll) , biaya pendidikan anak, biasanya orang seperti ini sudah tidak punya cicilan. Maka dengan kondisi seperti ini ,  Anda tidak perlu punya asuransi.

3. Sudah mempunyai Dana yang cukup untuk biaya Anak sekolah sampai lulus.

Kalau anda sudah merancang pendidikan masa depan anak anda dan sudah menyiapkan dananya juga sesuai dengan perhitungan biaya real yang dibutuhkan, dan meskipun terjadi Suatu resiko yang menimpa Anda, namun Dana Pendididkan tersebut tetap ada, maka anda tidak perlu punya asuransi untuk pendidikan anak.

4. Sudah Sakit-sakitan.

Ya, ketika Anda sudah sakit-sakitan seperti Anda sudah menderita sakit jantung, diabetes, atau ada suatu penyakit pada organ tertentu, maka Anda sudah tidak butuh Asuransi lagi. Karena Perusahaan Asuransi tentunya akan menolak pengajuan Asuransi Anda.

Nah, mumpung masih sehat maka tak ada salahnya memiliki Asuransi. Karena kalau Anda sudah sakit-sakitan, perusahaan Asuransi otomatis akan menolak pengajuan asuransi Anda.


5. Usia Anda sudah diatas 65 tahun.

Ya, karena Faktor usia tersebut, Anda biasanya akan ditolak ketika mengajukan Asuransi. Karena biasanya sebuah Perusahaan Asuransi akan menerima nasabah dengan usia dibawah 60 tahun.

Jadi, mumpung masih muda dan sehat, segera miliki rekening Asuransinya.


Jadi sudah faham bukan? bahwa tidak semua orang memerlukan Asuransi. Kalau Anda sendiri kira-kira termasuk yang mana..?

Dan ketika Anda termasuk orang yang mendambakan bisa hidup sejahtera dihari tua dan ingin menyekolahkan buah hati Anda sampai jenjang tingkat tinggi,  namun tidak tahu bagaimana mempersiapkannya. Kami sebagai Financial Consultant akan membantu Anda dalam

Kewajiban berasuransi dalam Islam



Dalam Alqur’an dan Hadits Nabi memang tidak terdapat satu katapun yang mengharuskan umat untuk berasuransi,karena asuransi adalah kegiatan mua’malah yang datang kemudian setelah Zaman Nabi Muhammad Saw.
Namun ada beberapa perintah dari Alqur’an dan hadits yang dalam teknik pelaksanaannya sangat dimungkinkan agar umat khususnya umat Islam mengambil Langkah agar berasuransi. perintah perintah tersebut sangat berkaitan kepada kemaslahatan umat manusia itu sendiri agar senantiasa 

* Menjaga dirinya
* Menjaga Keluarganya dan saudara sesama Muslim
* Menjaga Hartanya
* Mempersiapkah hari depannya
* Memelihara Agamanya


Sebagaimana firman firman Allah Swt dan Hadits Nabi Muhammad Saw Berikut
1. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Hasyr : 18)

2. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(Annisa : 9)

3. “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” 

Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf : 46 – 49)

4. Dari Sa’d bin Abi Waqas ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “… Sesungguhnya engkau jika meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan kaya (berkecukupan) adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam kondisi miskin meminta-minta pada manusia. 

Dan sesungguhnya tidaklah engkau memberikan nafkah kepada keluargamu dengan tujuan mengharap keridhaan Allah SWT, melainkan akan Allah berikan pahala atasnya, bahkan suapan yang engkau suapkan ke mulut istrimu…” 
(HR. Bukhari)

5. Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang membantu menghilangkan kesulitan dunia seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang memudahkan urusan seorang muslim, maka Allah akan memudahkan urusannya pada hari kiamat. (HR. Muslim)

6. Dari Nu’man bin Basyir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang dan kelemah lembutan diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh ada yang sakit, maka anggota tubuh lainnya juga turut merasakannya, (seperti) ketika tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim)

7. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Al-Maidah : 2

8. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?,Itulah orang yang menghardik anak yatim,dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin .Al Maa’uun (1-3)

Ayat Alqur’an dan Hadits di atas mengisyaratkan Pentingnya perencanaan untuk hari esok sesuai nomor 1 dan 3 diatas,Pentingnya merencanakan kesejahteraan untuk keluarga sesuai dengan nomor 2 dan 4 diatas, saling tolong menolong antar umat dalam meminimalisikan resiko sesuai dengan nomor 5-8 diatas. 

Dan kesemuanya bisa diwujudkan dalam suatu program perencanaan keuangan yang dinamakan Asuransi syariah.

Asuransi syariah adalah konsep kegiatan perencanaan keuangan Yang memanajemen resiko kehilangan nilai guna dari diri,harta,akal dan kemaslahatan umat yang berbasis tolong menolong antar pesertanya bukan antar peserta dengan perusahaan Asuransi,serta bebas dari unsur unsur gharar,Maisir,Riba dan yang diharamkan oleh Allah swt,dibuat secara melembaga dan sistematis.

seorang peserta Asuransi Syariah berarti dia menolong orang lain dan sekaligus menolong dirinya sendiri.

Jadi tunggu apalagi bergabunglah dengan Asuransi syariah ,jadilah bagian dari komunitas umat yang saling tolong menolong antar yang satu dengan yang lainnya.

Hukum Asuransi Menurut Islam



Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikankepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, 

baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentukapapunketikaterjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.

Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan

ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
  • Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
  • Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
  • Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
  • Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.

Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)


“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)


“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)


Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.

Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:

I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
  • Asuransi sama dengan judi
  • Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
  • Asuransi mengandung unsur riba/renten.
  • Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
  • Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
  • Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
  • Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedua  ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
  • Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
  • Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
  • Saling menguntungkan kedua belah pihak.
  • Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
  • Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
  • Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
  • Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan

Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).

Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.

Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.

Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

Asuransi syariah

A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
  • Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
  • Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
  • Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
  • Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
  • Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
  • Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
  • Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
  • Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
  • Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
  • Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
  • Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
  • Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
  • Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
  • Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
  • Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
  • Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
  • Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
  • Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
  • Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
  • Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
  • Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
  • Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
  • Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
  • Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
  • Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
  • Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
  • Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
  • Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
  • Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.

Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.

Selanjutnya, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :

Asuransi ada dua macam. Majlis Hai’ah Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa tahun yang lalu dan telah mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya melirik bagian yang dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau menggunakan lisensi boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi tidak jelas bagi sebagian orang.

Asuransi kerjasama (jaminan sosial) yang dibolehkan, seperti ; sekelompok orang membayarkan uang sejumlah tertentu untuk shadaqah atau membangun masjid atau membantu kaum fakir. Banyak orang yang mengambil istilah ini dan menjadikannya alasan untuk asuransi komersil. Ini kesalahan mereka dan pengelabuan terhadap manusia.

Contoh asuransi komersil : 
Seseorang mengasuransikan mobilnya atau barang lainnya yang merupakan barang import dengan biaya sekian dan sekian. Kadang tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan itu diambil perusahaan asuransi begitu saja. Ini termasuk judi yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala 

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
 mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]

Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Berikut ini kami cantumkan untuk para pembaca naskah fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa) tentang asuransi kerjasama (jaminan bersama).

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya, amma ba’du.

Telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama tentang haramnya asuransi komersil dengan semua jenisnya karena mengandung madharat dan bahaya yang besar serta merupakan tindak memakan harta orang lain dengan cara perolehan yang batil, yang mana hal tersebut telah diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras.

Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. 

Hal ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

 “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]

Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan Allah akan menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Adz-Dzikr wad Du'at wat Taubah 2699]

Ini sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi akhir-akhir ini sebagian perusahaan menyamarkan kepada orang-orang dan memutar balikkan hakekat, yang mana mereka menamakan asuransi komersil yang haram dengan sebutan jaminan sosial yang dinisbatkan kepada fatwa yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini untuk memperdayai orang lain dan memajukan perusahaan mereka. 

Padahal Ha’iah Kibaril Ulama sama sekali terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya jelas-jelas membedakan antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan). Pengubahan nama itu sendiri tidak merubah hakekatnya.

Keterangan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan penjelasan bagi orang-orang dan membongkar penyamaran serta mengungkap kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabat.

[Bayan Min Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta Haula At-Ta'min At-Tijari wat Ta'min At-Ta'awuni]“.
Kemudian, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :

Asuransi konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari’at, dalilnya adalah firmanNya “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil” [Al-Baqarah : 188]

Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta para pengasuransi (polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang dari mereka membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang bisa jadi mencapai puluhan ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak begitu memerlukan servis namun meskipun begitu, hartanya tersebut tidak dikembalikan kepadanya.

Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan sedikit uang, lalu terjadi kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani perusahaan secara berkali-kali lipat dari jumlah uang yang telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah membebankan harta perusahaan tanpa cara yang haq.

Hal lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan suka bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka cepat-cepat mengatakan, 

“Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansialnya), dan barangkali bisa membayar ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal ini berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya kecelakaan dan angka kematian.

[Al-Lu'lu'ul Makin Min Fatawa Ibn Jibrin, hal 190-191]“
Referensi: 1. Al-Quran AL-karim. 2. Al-fiqh al-Islamy wa adillatuhu, DR. Wahbah Azzuhaily. 3. Al-Islam wal manahij al-Islamiyah, Moh. Al Gozali. 4. Asuransi dalam hukum Islam, Dr. Husain Hamid Hisan. 5. Majalah al- buhuts al- Islamiyah, kumpulan ulama-ulama besar pada lembaga riset, Fatwa, dan dakwah. 6. Masail al-fiqhiyah, zakat, pajak, asuransi dan lembaga keuangan, M. Ali Hasan. 7. Halal dan haram, DR. Muhammad Yusuf al-Qordhowi. 8. Riba wa muamalat masrofiyah, DR. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik. 9. Riba wa adhroruhu ala al mujtama’, DR. Salim Segaf al-Djufri. 10. Masail diniyah keputusan musyawarah nasional Alim ulama NU, bandar lampung, 16-20 Rajab/ 25 januari 1992 M, 11.Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq